Mewaspadai Nilai Kebebasan dalam Bacaan Sastra Siber Remaja

Mewaspadai Nilai Kebebasan dalam Bacaan Sastra Siber Remaja
Oleh : Atik Khikmiyati, S.S.,S.Pd., M.Pd.

Saya memulai tulisan ini bersamaan dengan berakhirnya bacaan saya pada novel Tentang Kamu karya Tere Liye yang menemani perjalanan dinas luar daerah saya dari Malang Surabaya hingga Gorontalo.  Novel tersebut sebenarnya titipan dari Ibu saya untuk adik yang sedang belajar di Gorontalo. Saya hanya butuh waktu sehari di atas pesawat dan transit  satu kali bandara untuk menghabiskan halamannya. Cerita awal pembuka tulisan ini terasa tidak nyambung dengan judul tulisan di atas karena sejatinya saya bukan penikmat  sastra siber. Sebagaimana generasi yang lahir di tahun 80-an lainnya, saya adalah generasi literasi kertas yang belajar mengeja kata dan menulis kalimat dari buku paket di sekolah dengan tokoh utama si Budi di dalamnya. Di masa remaja profil tokoh literasi saya juga Rangga, siswa SMA yang pandai menulis puisi dan selalu membawa buku Aku, karya  Sjuman Djaya  dalam film Ada Apa dengan Cinta? . Ide menulis tentang sastra siber sebenarnya datang dari curhatan salah satu wali murid saya jauh hari sebelumnya.

            Garis besar curhatan wali murid tersebut adalah tentang kekhawatiran dan keterkejutannya pada sikap putrinya yang mengalami masalah belajar karena telah kecanduan membaca novel online. Candu? Jika kata candu yang muncul berarti ada dampak negatif, seperti kecanduan rokok, kecanduan narkoba, kecanduan alkohol dan lain sebagainya. Betulkah novel atau sastra bisa menjadi candu?  Sangat mungkin, karena sastra bukan hanya bentuk ekspresi individu sastrawan, sebaliknya sastra dari sejak awal penciptaannya sangat mungkin dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu. Pada situasi tertentu, penyampaian nilai  melalui media sastra jauh lebih mengena, bahkan tentu saja berbahaya (jika nilai yang dibawa adalah nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut individu atau masyarakat tertentu) dibandingkan media lainnya.

            Mari kita kembali ke curhatan wali murid saya. Salah seorang teman yang juga mendengar curhatan tersebut penasaran dan mulai mencoba mengunjungi beberapa situs penyedia novel online. Keesokan harinya, teman saya yang  punya bayi usia delapan bulan tersebut pun ngomel-ngomel karena sadar seluruh pekerjaannya hari itu menjadi terbengkalai demi memenuhi rasa penasarannya ingin menyelesaikan novel onlinenya. Hahahaha. Kondisi ini tentu saja mematik niat di hati saya untuk secara lebih dalam menelusuri topik ini. Saya tekankan di sini menelusuri, bukan membaca novel online. Jujur, saya juga menjadi khawatir.

            Eka Kurniawan (2019) dan banyak krtikus satra lainnya menyebut fenomena sastra siber sebagai gerakan perlawanan terhadap dominasi sastra koran. Ditinjau dari kajian media, redaktur senior Tempo tersebut menyebut sastra siber sebagai feuilleton baru sebagaimana peran munculnya ruang sastra di media koran sebelumnya. Feuilleton adalah bagian atau ruang dari surat kabar Eropa yang dinisbahkan untuk materi yang dirancang menghibur pembaca. Jadi, di awal kemunculannya sastra koran sebenarnya hanya suplemen ringan bagi kolom utama di koran umum. Namun, dalam perkembangannnya suplemen ruang sastra ini menjadi mendominasi sehingga muncul anggapan bahwa “Anda belum menjadi penuls hebat sebelum karya Anda dimuat di koran”. Prestise adalah alasan utama mengapa anggapan ini muncul, karena sebanyak dan sebagus apa pun munculnya karya sastra di koran umum tidak bisa mengubah status koran tersebut menjadi koran atau media khusus sastra. Nah, sastra siber yang sebenarnya di awal kemunculannnya dalam bahasa Eka Kurniawan adalah aktivitas iseng para penulis ingin mendobrak dominasi tersebut.

Lalu seberapa jauh pengaruh sastra siber bagi pembacanya? Terutama pembaca remaja, lebih khusus lagi siswa. Di titik inilah cerita pengalaman saya membaca Tentang Kamunya Tere Liye menjadi terkait. Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar dari segi struktur karya antara karya sastra siber dan sastra kertas atau konvensional. Sebagaimana Eka Kurniawan menyampaikan sastra siber sejatinya tidak menghandirkan aliran sastra baru bagi dunia sastra kita. Ketertarikan saya pada cerita kisah hidup Sri Ningsih dan kemampuan Tere Liye mengatur alur lah yang membuat saya betah membaca terus novel tersebut sepanjang perjalanan hingga aktivitas menanti jadwal pesawat di bandara atau duduk di dalam pesawat  berjam-jam menjadi tak terasa. Hal serupa tentu juga dialami siswa saya yang oleh orang tuanya disebut sedang mengalami kecanduan. Lalu, apa yang membedakan sehingga muncul kesan mengganggu atau kecanduan? Jawabannya adalah pada media yang digunakan.

Karakter utama karya sastra siber adalah digitalitas dan komunikasi digitalnya dengan pembaca. Sebagaimana komunikasi di dunia maya lainnya seperti facebook, instagram, whatsup aktivitas membaca sastra melalui media digital lebih banyak menguras waktu dan melenakan pembaca. Di masa lalu cerita sampainya sebuah karya misalnya novel ke tangan pembaca lebih panjang dan sedikit romantis (aspek ini yang sekarang hilang) seperti cerita saya di atas. Pembaca harus pergi ke toko buku di hari Minggu bersama keluarga, ke perpustakaan, pinjam teman atau bahkan menabung dulu jika ingin membaca buku impiannya. Di masa sekarang, sebagaimana facebook, instagram,  dan platform sosial lainnya penyedia bacaan sastra online telah menjamur dan menyediakan begitu banyak pilihan bacaan bagi siapa saja di tangan mereka. Cukup bermodalkan data atau jaringan internet dan sekali sentuh  pembaca bisa menjelajah puluhan situs dengan segmen, isi, dan  jenis bacaan yang mereka inginkan.  Sayangnya, kemudahan akses ini pada beberapa kasus, salah satunya adalah di tingkat pembaca remaja menimbulkan masalah. Bukan hanya tentang waktu, yang lebih berbahaya adalah niai yang termuat di dalamnya yang dapat dengan mudah mereka akses  tanpa filter sama sekali.

Teman saya yang juga pembaca sastra siber mengungkapkan bahwa secara normatif  seperti tayangan televisi,  umumnya penyedia novel online telah memberi tanda khusus pada tiap karya yang disediakan sesuai segmen  pembaca yang diinginkan. Namun, sekali lagi karena bentuknya digital bagaimana filter bisa diberlakukan?  Lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia dapat melakukan peran ini dengan mengatur jadwal tanyang televisi. Hal serupa tentu sangat sulit dilakukan pada karya sastra siber. Bagaimana mengendalikan jaringan dan keinginan membaca remaja di tangan mereka setiap saat? Sementara kebebasan berkespresi di dunia digital begitu pesatnya. Hal yang patus kita waspadai adalah nilai-nilai kebebasan seperti kekerasan, LGBT, seks bebas, dan lainnya yang seharusnya belum dikonsumsi oleh segmen pembaca tertentu tidak dapat kita hindari. Maka, benteng terakhir adalah orang tua dan sekolah yang harus terus mengedukasi mereka agar menjadi pembaca cerdas dan kritis. Perubahan memang sebuah keniscayaan. Sebagaimana seorang ahli mengugkapkan hanya ada tiga pilihan kita berhadapan dengan perubahan. Apakah kita akan menjadi pencipta, pengikut, atau penolak perubahan. Setidaknya meskipun belum bisa menjadi kelompok pertama, semestinya kita bisa menjadi kelompok kedua yang tetap kritis.

Tulisan ini telah dimuat di harian Gorontalo Pos edisi Rabu, 27 Januari 2022  


SHARE